Sabtu, 26 Januari 2013

Resolusi Ketiga


Sebentar lagi jejak akan melewati angka dua, tentu setelahnya angka tiga. Berat, hanya ada guyuran air di tiap malamnya. Bulan tak bisa keluar bersamaan dengan guyuran air itu, tubuhnya terlalu rapuh untuk disandingkan bersamaan. Aku bulan, dan yang terus mengguyur bumi itu hujan.
Sebelum ada hujan aku tak pernah kuyup dan basah, aku selalu kering oleh sinar matahari. Ups, itu dulu. Aku lupa. Aku hanya bisa ada saat malam hari, dibantu oleh sinar matahari yang baik hati itu. Sinar matahari yang tak pernah lelah kobarkan sinarnya hanya untukku. Ya, karena aku memang tak punya sinar sendiri.
Ah sudahlah, aku mulai menceracaukannya lagi.
***
Beberapa tahun silam
Saat itu, aku dan matahari lahir bersamaan. Lebih tepatnya aku lahir duluan kemudian baru matahari. Tapi uniknya, dia bisa lebih dewasa dan terampil dibanding aku. Dengan sinar yang dimilikinya ia sinari bagian-bagian bumi sesuai dengan batas waktu yang ditakdirkan oleh-Nya.
Matahari yang ditakdirkan menyinari bumi di siang hari selalu tampak gagah, apalagi jika bunga matahari tak berhenti memandanginya. Terlihat lucu, dan aku paling suka menggodanya jika sudah begini. Kenangan. Wush.
Jika tiba waktu malam, ia selalu menjemputku. Mengatakan bahwa malam ini tak ada hujan, ia tahu betul jika aku takut dan akan rapuh oleh hujan. Begitu juga dengannya, matahari paling tidak tahan dengan hujan. Tapi ia kuat, ia akan berlindung di bagian langit yang lain. Aku tidak bisa dan aku selalu kalah oleh hujan.
Desember. Bulan dengan akhiran lafal ‘ber’ biasanya selalu menyampaikan kekalutan di hatiku. Hujan dan hujan tiap malamnya, aku dan matahari tidak bisa pergi bersama seperti biasa. Begitulah matahari, walau kami tidak bisa berkolaborasi di langit satu itu tetap saja dia setia menungguku. Bercerita tentang aktifitasnya di siang hari, berbagai hal yang dilihatnya. Tepat tanggal 17 malam ini, umur kami delapan belas tahun. Tidak terasa kebersamaan kami ini begitu indah, saling melengkapi.
Kami semakin saling menjaga dan melengkapi satu sama lain. Jika aku sudah membahas perbedaan, dia pasti sudah siap dengan kata-kata ajaibnya seperti ini, “Justru dengan perbedaan itulah kita bisa saling melengkapi.” Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ah matahari, selalu bisa saja membuat kecerahan tiap harinya.
Jika ditanya, aku iri kepada apa? Aku hanya selalu iri kepada bintang, bintang yang memiliki sinar sendiri tanpa bantuan benda langit lain. Sempurna. Cantik, menawan, membantu manusia mencari arah mata angin, pintar membuat rasi. Sedangkan aku? Tak ada apa-apanya. Dan lagi-lagi, matahari yang berhasil menggugurkan persepsiku, “Allah itu Maha Adil. Akan ada hikmah dibalik semua kelebihan dan kekurangan yang diberikan kepada apa yang Dia ciptakan. Bersyukur saja lan, kalo menggerutu terus nanti jadi kufur ni’mat lho.” Ah, bijak.
***
Aku bersiap malam ini, akan menghias langit dan menyinari bumi lagi. Sepertinya hujan tak mengguyur malam di awal bulan Januari ini. Semoga. Rekan-rekanku yang lain sudah bersemangat. Ada bintang, tentunya matahari sudah menunggu dari tadi.
Ada yang aneh sejak bersiap tadi, baru setelah malam lewat dini hari, aku tahu. Setelah semuanya pulang, dan tinggal aku bersama matahari saja. Aku mengira matahari hanya bercanda saja lewat kata, tapi itu bukanlah kebiasaannya. Ia selalu serius dalam berkata, tidak pernah sekadar kelakar atau bahkan kebohongan. Cinta, kata itu yang keluar darinya. Tak urung, aku hanya bisa menangisi kata-kata yang barusan keluar dari hatinya. Karena aku sadar, matahari dan bulan sulit bersatu, dan takkan pernah bersatu.
Esoknya, aku kira matahari takkan menjemputku seperti biasa. Tapi tidak, ia masih berani menampakkan dirinya mengajakku bersiap bertugas seperti biasa. Seperti tak ada sesuatu pun yang terjadi. Aku menyinggung permasalahan itu, tapi ia hanya berkata, “Jangan dipikirkan terlalu mendalam lan. Nanti kalo kamu sakit siapa yang menghiasi malam? Manusia pasti sedih tidak melihat Dewi malam di langit, kita tetap akan bersama. Meskipun kamu tidak mengatakannya, aku sudah tahu sejak lama tentang hatimu.”
Sebenarnya ada keresahan dalam hati, karena jika dibiarkan mengalir rasa itu takut tak terbendung. Membanjiri hati lalu tumpah ruah tak terkendali. Biarlah sedikit saja, selangkah demi selangkah menghindarinya. Aku ikuti saja langkahnya, demi tugas dan amanah yang ada di pundakku.
Hari demi hari kulewati bersamanya, tentu tak ada yang tahu apa yang terjadi diantara kami. Karena kami setiap hari seperti ini, kemana-mana bersama. Bintang pun tak curiga.
***
Purnama kesembilan ini aku meyakini sesuatu, aku harus mengakhirinya. Bukan seperti ini seharusnya. Lebih baik sakit saat ini lalu indah kemudian, daripada terus menerus dikuntit rasa bersalah dan terus dilakukan. Sakitnya akan dua kali lipat dari ini. Sulit tapi bukan tidak bisa dilakukan, aku harus menjadi bulan yang paling kokoh dan tegar menghadapi situasi ini. “Maafkan aku matahari, aku tidak bisa melanjutkan semua yang ada. Alirannya akan semakin deras jika tak dihentikan. Aku malu dengan Rabbku, aku tak ingin mengkhianati dan membuatnya cemburu bahkan menduakannya.”
Langkahmu terseret gontai, aku tahu. Aku tahu bukan aku saja yang terluka. Aku tahu hatimu juga. Tapi sekali lagi ini demi kebaikan kita bersama, kecintaan kita kepada sang Khaliq. Kamu setuju kan matahari? Suatu saat nanti aku yakin kamu pasti memahami keputusanku.
***
Kembali bertemu dengan nama bulan berakhiran ‘ber’. Aku tak bisa apa-apa. Komunikasiku dengan matahari juga belum membaik. Terakhir kudengar, dia sedang dekat dengan bintang. Aku tidak punya hak apapun untuk melarang kedekatannya itu, cemburu pun tak perlu. Hanya menyakiti hati, membuat diri lelah sendiri. Matahari juga takkan peduli kepada bulan yang telah menyakiti hatinya, pasti seperti itu pikirnya. Karena akulah yang salah, menurutnya.
Aku terseok-seok sebenarnya jika saja kau tahu. Aku bahkan tidak pernah absen menangisimu setiap pekannya. Membaca setiap kata yang kau ucapkan setiap harinya kepadaku, aku tuliskan di buku milikku. Semua terekam dalam tulisanku. Tapi kau tidak akan mau tahu lagi dengan bulan yang menyakitimu, begitu bukan matahari? Sayang, aku sudah tak bisa lagi meraihnya.
Aku baru saja bertemu dengan bintang, ia terlihat terang dengan sinarnya. Ia ingin bercerita banyak katanya, ia tengah menyukai atau lebih tepatnya mencintai. Cinta yang dilabuhkan kepada sahabat terdekatku, sahabat yang entah kemana perginya, sahabat yang gencar menyemangati. Matahari. Aku berkomentar dengan cerdas, berpura-pura jika aku tak punya hati. Seolah-olah aku bulan paling bijak dengan nasihat jitunya.
Tak begitu lama sejak cerita itu bergulir, kedekatan mereka sudah berubah menjadi kebersamaan. Pasangan serasi yang sama-sama miliki sinar sendiri. Aku hanya bisa menyimpan diri di pojok langit terjauh dari mereka. Aku tak mau terlihat mengusap linangan air mata yang tak bisa berhenti, ketika melihat kebersamaan yang pernah aku lalui juga. Aku harus pergi sejauh-jauhnya, meski aku tak bisa menyinari bumi lagi.
***
Tak bisa terelakkan, aku rindu menyinari bumi. Aku berpikir jika hidup ini tak bisa dilalui dengan cara seperti ini. Cara yang paling tidak disukai penciptaku, aku harus kembali lagi meskipun harus bertemu dan melihat pasangan serasi itu. Aku adalah bulan paling kokoh dan tegar.
Aku berusaha bersikap biasa, flat, seperti tak ada sesuatu yang terjadi dulu. Aku menyapa mereka, menghiasi bumi bersama-sama setiap malamnya. Terasa asing, di tengah pasangan yang mengecap manisnya cinta di tengah getirnya hatiku ini. Aku tak mengindahkan mereka, karena aku bulan yang kokoh dan tegar. Hal itu sepele.
Aku belum menceritakan awan yang menemaniku saat mengasingkan diri. Awan yang paling betah berada dekat-dekat dengan bulan. Entah kenapa?
Selama mengasingkan diri, aku banyak belajar darinya tentang arti kehidupan. Bahwa keterpurukan kita hari ini adalah awal kebangkitan kita hingga nanti. Sejujurnya, jika dibandingkan dengan matahari memang pasti berbeda. Karena keduanya satuan berbeda yang tidak bisa disamakan, punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Awan yang mandiri dan suka menulis, matahari yang bijak dan pengertian. Berbeda bukan?
Aku masih belum mengerti dengan alasan awan yang tahan dengan segala kelakuanku. Apa yang dia rasakan saja aku tak bisa begitu yakin menebaknya. Begitu penuh misteri. Berbeda dengan matahari, yang bisa kutahu segala rasanya dengan cepat. Mungkin karena kami sudah lama bersama.
Meskipun aku dan awan sering berkomunikasi dengan kata-kata yang dibuat bermakna dan disusun indah. Tetap aku belum bisa menangkap arti dibalik semua yang pernah ia tuliskan. Aku tak mau mengambil kesimpulan terlalu dini tentang perasaannya. Karena aku baru sekejap mengenalnya, dan aku tahu dia dekat dengan siapa. Warna-warni indah yang berderet setelah hujan jatuh dan matahari kembali bersinar di bumi. Dia, bias yang indah-Pelangi.
Aku cukup tahu diri saja. Tak berharap banyak, walau benih harapan itu sempat lalu dalam hati. Tapi biarlah, aku ingin hidup sebagaimana air yang mengalir. Tak ingin berkomitmen dengan harapan kosong yang belum tentu diridhoi oleh-Nya. Biarkan semuanya bermuara di tempat dan saat yang tepat.
Hmm, walaupun kuakui. Aku memang berharap banyak kepada awan, kepada awan yang lembut dan tulus itu. Meski sering cemburu dengan pelangi.
Awan
Hendak kemana engkau bawa aku berlari
Hendak kemana engkau bawa aku bernafas
Hendak kemana engkau bawa aku berhenti
Hendak kemana engkau bawa aku
Kemana sebenarnya?

Aku meragu, lalu hilang
Aku meyakini, lalu berubah

Berapa lama lagi aku harus bersabar?
Menunggu harapan yang terisi dengan punyaku saja

***
Aku malu mengakuinya matahari, jika aku membutuhkanmu sejak aku melepasmu setahun itu. Aku mulai mengingatmu lagi setelah aku mengikhlaskan semuanya dua tahun lalu. Aku sempat berpikir jika saja waktu itu tidak, mungkin kita masih sama. Tapi entah ada dimana dan sedang apa, entah diridhoi oleh-Nya atau malah dimurkai? Aku tidak bermaksud cari aman sendiri, tapi hidup ini pilihan matahari.
Aku yang salah ya matahari, harusnya aku tak muncul lagi di hadapanmu. Semestinya aku tak berada di dekatmu lagi, supaya aliran dan ikatan hati kita dulu tidak menguat lagi.
Oh iya, aku sempat bercerita kepada bintang bahwa awan akan meminangku. Ia menceritakannya kepadamu matahari? Ah, itu hanya keinginanku saja. Padahal belum tentu awan berpikir kesana. That is only my best wishes my sun. Harapan yang entah akan terkabul atau akan menguap begitu saja.
Tapi yang pasti, aku berharap di tahun ketiga, aku menemukan sesuatu yang berarti. Aku ingin mengakhiri luka-luka yang mengeras di hati. Aku tahu jalan itu bukan tak dipenuhi keletihan, tapi jalan itu penuh dengan kehalalan. Aku akan selalu mendapatkan ridho-Nya, pahala dari-Nya, cinta karena-Nya. Aku berharap mewujudkannya. Doakan aku matahari, walaupun aku tak tahu entah dengan siapa.
Maafkan aku matahari, banyak sekali hal yang tak bisa kubalas dengan baik kepadamu. Hanya doaku agar kau bisa berbahagia hingga akhir nanti.
***
Maaf awan, aku mengakuimu. Tanpa ada pengakuanmu kepadaku. Itu aku lakukan supaya semua orang yang menyayangiku percaya, jika aku telah sembuh. Aku sanggup membuka hati kembali. Aku memang bisa, tapi sepertinya kamu tak membiarkan aku masuk. Ada seseorang yang lebih daripadaku, dari semua hal. Dan aku mengerti.
Sekali lagi maafkan aku. Aku tak pernah berusaha mempermainkanmu, tapi aku takut. Aku takut dengan bayangan matahari yang menghantuiku. Aku masih ingin mencapai segala hal yang pernah aku tuliskan dalam daftar impianku. Tapi aku takut kamu tak bisa menerima dan akan meninggalkanku bersama pelangi. Aku tak mau menyakiti hatiku lagi. Lelah awan, aku lelah.
Aku berharap di tahun ketiga, aku menemukan sesuatu yang berarti. Aku ingin mengakhiri luka-luka yang mengeras di hati. Aku tahu jalan itu bukan tak dipenuhi keletihan, tapi jalan itu penuh dengan kehalalan. Aku akan selalu mendapatkan ridho-Nya, pahala dari-Nya, cinta karena-Nya. Aku berharap mewujudkannya. Doakan aku awan, walaupun aku tak tahu entah dengan siapa.

Copas dari tetangga sebelah ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar