Sebentar
lagi jejak akan melewati angka dua, tentu setelahnya angka tiga. Berat, hanya
ada guyuran air di tiap malamnya. Bulan tak bisa keluar bersamaan dengan guyuran air itu, tubuhnya
terlalu rapuh untuk disandingkan bersamaan. Aku bulan, dan yang terus mengguyur
bumi itu hujan.
Sebelum
ada hujan aku tak pernah kuyup dan basah, aku selalu kering oleh sinar
matahari. Ups, itu dulu. Aku lupa. Aku hanya bisa ada saat malam hari, dibantu
oleh sinar matahari yang baik hati itu. Sinar matahari yang tak pernah lelah
kobarkan sinarnya hanya untukku. Ya, karena aku memang tak punya sinar sendiri.
***
Beberapa tahun silam
Saat
itu, aku dan matahari lahir bersamaan. Lebih tepatnya aku lahir duluan kemudian
baru matahari. Tapi uniknya, dia bisa lebih dewasa dan terampil dibanding aku. Dengan
sinar yang dimilikinya ia sinari bagian-bagian bumi sesuai dengan batas waktu
yang ditakdirkan oleh-Nya.
Matahari
yang ditakdirkan menyinari bumi di siang hari selalu tampak gagah, apalagi jika
bunga matahari tak berhenti memandanginya. Terlihat lucu, dan aku paling suka
menggodanya jika sudah begini. Kenangan. Wush.
Jika
tiba waktu malam, ia selalu menjemputku. Mengatakan bahwa malam ini tak ada
hujan, ia tahu betul jika aku takut dan akan rapuh oleh hujan. Begitu juga
dengannya, matahari paling tidak tahan dengan hujan. Tapi ia kuat, ia akan
berlindung di bagian langit yang lain. Aku tidak bisa dan aku selalu kalah oleh
hujan.
Desember.
Bulan dengan akhiran lafal ‘ber’ biasanya selalu menyampaikan kekalutan di
hatiku. Hujan dan hujan tiap malamnya, aku dan matahari tidak bisa pergi
bersama seperti biasa. Begitulah matahari, walau kami tidak bisa berkolaborasi
di langit satu itu tetap saja dia setia menungguku. Bercerita tentang aktifitasnya
di siang hari, berbagai hal yang dilihatnya. Tepat tanggal 17 malam ini, umur
kami delapan belas tahun. Tidak terasa kebersamaan kami ini begitu indah,
saling melengkapi.
Kami
semakin saling menjaga dan melengkapi satu sama lain. Jika aku sudah membahas
perbedaan, dia pasti sudah siap dengan kata-kata ajaibnya seperti ini, “Justru
dengan perbedaan itulah kita bisa saling melengkapi.” Aku hanya bisa tersenyum
mendengarnya. Ah matahari, selalu bisa saja membuat kecerahan tiap harinya.
Jika
ditanya, aku iri kepada apa? Aku hanya selalu iri kepada bintang, bintang yang
memiliki sinar sendiri tanpa bantuan benda langit lain. Sempurna. Cantik,
menawan, membantu manusia mencari arah mata angin, pintar membuat rasi.
Sedangkan aku? Tak ada apa-apanya. Dan lagi-lagi, matahari yang berhasil
menggugurkan persepsiku, “Allah itu Maha Adil. Akan ada hikmah dibalik semua
kelebihan dan kekurangan yang diberikan kepada apa yang Dia ciptakan. Bersyukur
saja lan, kalo menggerutu terus nanti jadi kufur ni’mat lho.” Ah, bijak.
***
Aku
bersiap malam ini, akan menghias langit dan menyinari bumi lagi. Sepertinya
hujan tak mengguyur malam di awal bulan Januari ini. Semoga. Rekan-rekanku yang
lain sudah bersemangat. Ada bintang, tentunya matahari sudah menunggu dari
tadi.
Ada
yang aneh sejak bersiap tadi, baru setelah malam lewat dini hari, aku tahu.
Setelah semuanya pulang, dan tinggal aku bersama matahari saja. Aku mengira
matahari hanya bercanda saja lewat kata, tapi itu bukanlah kebiasaannya. Ia
selalu serius dalam berkata, tidak pernah sekadar kelakar atau bahkan
kebohongan. Cinta, kata itu yang keluar darinya. Tak urung, aku hanya bisa
menangisi kata-kata yang barusan keluar dari hatinya. Karena aku sadar,
matahari dan bulan sulit bersatu, dan takkan pernah bersatu.
Esoknya,
aku kira matahari takkan menjemputku seperti biasa. Tapi tidak, ia masih berani
menampakkan dirinya mengajakku bersiap bertugas seperti biasa. Seperti tak ada
sesuatu pun yang terjadi. Aku menyinggung permasalahan itu, tapi ia hanya
berkata, “Jangan dipikirkan terlalu mendalam lan. Nanti kalo kamu sakit siapa
yang menghiasi malam? Manusia pasti sedih tidak melihat Dewi malam di langit,
kita tetap akan bersama. Meskipun kamu tidak mengatakannya, aku sudah tahu
sejak lama tentang hatimu.”
Sebenarnya
ada keresahan dalam hati, karena jika dibiarkan mengalir rasa itu takut tak
terbendung. Membanjiri hati lalu tumpah ruah tak terkendali. Biarlah sedikit
saja, selangkah demi selangkah menghindarinya. Aku ikuti saja langkahnya, demi
tugas dan amanah yang ada di pundakku.
Hari
demi hari kulewati bersamanya, tentu tak ada yang tahu apa yang terjadi
diantara kami. Karena kami setiap hari seperti ini, kemana-mana bersama.
Bintang pun tak curiga.
***
Purnama
kesembilan ini aku meyakini sesuatu, aku harus mengakhirinya. Bukan seperti ini
seharusnya. Lebih baik sakit saat ini lalu indah kemudian, daripada terus
menerus dikuntit rasa bersalah dan terus dilakukan. Sakitnya akan dua kali
lipat dari ini. Sulit tapi bukan tidak bisa dilakukan, aku harus menjadi bulan
yang paling kokoh dan tegar menghadapi situasi ini. “Maafkan aku matahari, aku
tidak bisa melanjutkan semua yang ada. Alirannya akan semakin deras jika tak
dihentikan. Aku malu dengan Rabbku, aku tak ingin mengkhianati dan membuatnya
cemburu bahkan menduakannya.”
Langkahmu
terseret gontai, aku tahu. Aku tahu bukan aku saja yang terluka. Aku tahu
hatimu juga. Tapi sekali lagi ini demi kebaikan kita bersama, kecintaan kita
kepada sang Khaliq. Kamu setuju kan matahari? Suatu saat nanti aku yakin kamu
pasti memahami keputusanku.
***
Kembali
bertemu dengan nama bulan berakhiran ‘ber’. Aku tak bisa apa-apa. Komunikasiku
dengan matahari juga belum membaik. Terakhir kudengar, dia sedang dekat dengan
bintang. Aku tidak punya hak apapun untuk melarang kedekatannya itu, cemburu
pun tak perlu. Hanya menyakiti hati, membuat diri lelah sendiri. Matahari juga
takkan peduli kepada bulan yang telah menyakiti hatinya, pasti seperti itu
pikirnya. Karena akulah yang salah, menurutnya.
Aku
terseok-seok sebenarnya jika saja kau tahu. Aku bahkan tidak pernah absen
menangisimu setiap pekannya. Membaca setiap kata yang kau ucapkan setiap
harinya kepadaku, aku tuliskan di buku milikku. Semua terekam dalam tulisanku.
Tapi kau tidak akan mau tahu lagi dengan bulan yang menyakitimu, begitu bukan
matahari? Sayang, aku sudah tak bisa lagi meraihnya.
Aku
baru saja bertemu dengan bintang, ia terlihat terang dengan sinarnya. Ia ingin
bercerita banyak katanya, ia tengah menyukai atau lebih tepatnya mencintai.
Cinta yang dilabuhkan kepada sahabat terdekatku, sahabat yang entah kemana
perginya, sahabat yang gencar menyemangati. Matahari. Aku berkomentar dengan
cerdas, berpura-pura jika aku tak punya hati. Seolah-olah aku bulan paling
bijak dengan nasihat jitunya.
Tak
begitu lama sejak cerita itu bergulir, kedekatan mereka sudah berubah menjadi
kebersamaan. Pasangan serasi yang sama-sama miliki sinar sendiri. Aku hanya
bisa menyimpan diri di pojok langit terjauh dari mereka. Aku tak mau terlihat
mengusap linangan air mata yang tak bisa berhenti, ketika melihat kebersamaan
yang pernah aku lalui juga. Aku harus pergi sejauh-jauhnya, meski aku tak bisa
menyinari bumi lagi.
***
Tak
bisa terelakkan, aku rindu menyinari bumi. Aku berpikir jika hidup ini tak bisa
dilalui dengan cara seperti ini. Cara yang paling tidak disukai penciptaku, aku
harus kembali lagi meskipun harus bertemu dan melihat pasangan serasi itu. Aku
adalah bulan paling kokoh dan tegar.
Aku
berusaha bersikap biasa, flat, seperti tak ada sesuatu yang terjadi
dulu. Aku menyapa mereka, menghiasi bumi bersama-sama setiap malamnya. Terasa
asing, di tengah pasangan yang mengecap manisnya cinta di tengah getirnya
hatiku ini. Aku tak mengindahkan mereka, karena aku bulan yang kokoh dan tegar.
Hal itu sepele.
Aku
belum menceritakan awan yang menemaniku saat mengasingkan diri. Awan yang
paling betah berada dekat-dekat dengan bulan. Entah kenapa?
Selama
mengasingkan diri, aku banyak belajar darinya tentang arti kehidupan. Bahwa keterpurukan
kita hari ini adalah awal kebangkitan kita hingga nanti. Sejujurnya, jika
dibandingkan dengan matahari memang pasti berbeda. Karena keduanya satuan
berbeda yang tidak bisa disamakan, punya kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Awan yang mandiri dan suka menulis, matahari yang bijak dan
pengertian. Berbeda bukan?
Aku
masih belum mengerti dengan alasan awan yang tahan dengan segala kelakuanku.
Apa yang dia rasakan saja aku tak bisa begitu yakin menebaknya. Begitu penuh
misteri. Berbeda dengan matahari, yang bisa kutahu segala rasanya dengan cepat.
Mungkin karena kami sudah lama bersama.
Meskipun
aku dan awan sering berkomunikasi dengan kata-kata yang dibuat bermakna dan
disusun indah. Tetap aku belum bisa menangkap arti dibalik semua yang pernah ia
tuliskan. Aku tak mau mengambil kesimpulan terlalu dini tentang perasaannya.
Karena aku baru sekejap mengenalnya, dan aku tahu dia dekat dengan siapa.
Warna-warni indah yang berderet setelah hujan jatuh dan matahari kembali
bersinar di bumi. Dia, bias yang indah-Pelangi.
Aku
cukup tahu diri saja. Tak berharap banyak, walau benih harapan itu sempat lalu
dalam hati. Tapi biarlah, aku ingin hidup sebagaimana air yang mengalir. Tak
ingin berkomitmen dengan harapan kosong yang belum tentu diridhoi oleh-Nya.
Biarkan semuanya bermuara di tempat dan saat yang tepat.
Hmm,
walaupun kuakui. Aku memang berharap banyak kepada awan, kepada awan yang
lembut dan tulus itu. Meski sering cemburu dengan pelangi.
Awan
…
Hendak
kemana engkau bawa aku berlari
Hendak
kemana engkau bawa aku bernafas
Hendak
kemana engkau bawa aku berhenti
Hendak
kemana engkau bawa aku …
Kemana
sebenarnya?
Aku meragu, lalu hilang
Aku
meyakini, lalu berubah
Berapa lama lagi aku harus bersabar?
Menunggu harapan yang terisi dengan punyaku
saja …
***
Aku
malu mengakuinya matahari, jika aku membutuhkanmu sejak aku melepasmu setahun
itu. Aku mulai mengingatmu lagi setelah aku mengikhlaskan semuanya dua tahun
lalu. Aku sempat berpikir jika saja waktu itu tidak, mungkin kita masih sama.
Tapi entah ada dimana dan sedang apa, entah diridhoi oleh-Nya atau malah
dimurkai? Aku tidak bermaksud cari aman sendiri, tapi hidup ini pilihan
matahari.
Aku
yang salah ya matahari, harusnya aku tak muncul lagi di hadapanmu. Semestinya
aku tak berada di dekatmu lagi, supaya aliran dan ikatan hati kita dulu tidak
menguat lagi.
Oh
iya, aku sempat bercerita kepada bintang bahwa awan akan meminangku. Ia
menceritakannya kepadamu matahari? Ah, itu hanya keinginanku saja. Padahal
belum tentu awan berpikir kesana. That is only my best wishes my sun. Harapan
yang entah akan terkabul atau akan menguap begitu saja.
Tapi
yang pasti, aku berharap di tahun ketiga, aku menemukan sesuatu yang berarti.
Aku ingin mengakhiri luka-luka yang mengeras di hati. Aku tahu jalan itu bukan
tak dipenuhi keletihan, tapi jalan itu penuh dengan kehalalan. Aku akan selalu
mendapatkan ridho-Nya, pahala dari-Nya, cinta karena-Nya. Aku berharap
mewujudkannya. Doakan aku matahari, walaupun aku tak tahu entah dengan siapa.
Maafkan
aku matahari, banyak sekali hal yang tak bisa kubalas dengan baik kepadamu.
Hanya doaku agar kau bisa berbahagia hingga akhir nanti.
***
Maaf
awan, aku mengakuimu. Tanpa ada pengakuanmu kepadaku. Itu aku lakukan supaya
semua orang yang menyayangiku percaya, jika aku telah sembuh. Aku sanggup
membuka hati kembali. Aku memang bisa, tapi sepertinya kamu tak membiarkan aku
masuk. Ada seseorang yang lebih daripadaku, dari semua hal. Dan aku mengerti.
Sekali
lagi maafkan aku. Aku tak pernah berusaha mempermainkanmu, tapi aku takut. Aku
takut dengan bayangan matahari yang menghantuiku. Aku masih ingin mencapai
segala hal yang pernah aku tuliskan dalam daftar impianku. Tapi aku takut kamu
tak bisa menerima dan akan meninggalkanku bersama pelangi. Aku tak mau
menyakiti hatiku lagi. Lelah awan, aku lelah.
Aku
berharap di tahun ketiga, aku menemukan sesuatu yang berarti. Aku ingin
mengakhiri luka-luka yang mengeras di hati. Aku tahu jalan itu bukan tak
dipenuhi keletihan, tapi jalan itu penuh dengan kehalalan. Aku akan selalu
mendapatkan ridho-Nya, pahala dari-Nya, cinta karena-Nya. Aku berharap
mewujudkannya. Doakan aku awan, walaupun aku tak tahu entah dengan siapa.
Copas dari tetangga sebelah ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar