Minggu, 02 Juni 2013

Jika Karena Harta, Dari Dulu Sudah Kuterima



HARI ini adalah hari pernikahannya. Entah apa yang kurasakan, sedih, gembira ataukah malah plain? Tapi yang pasti seharian ini aku hanya terdiam, memandang nanar setiap pojok kamar. Bingung.

Begini ya rasanya ditinggal menikah? Padahal dulu aku sama sekali tidak merasakan sesuatu yang istimewa dalam hati. Biasa saja malah cenderung apatis. Tepat dua tahun yang lalu, saat ada seseorang yang tiba-tiba datang mengejutkanku. Ia datang melamarku? Apa melamar? Melamar anak ingusan? Ya, aku baru saja duduk di semester empat perkuliahan.
Saatnya memang tepat, aku baru saja ditinggal pergi oleh matahari. Dia pergi bersama bintang ke belahan bumi lain yang masih bisa kulihat. Seperti yang pernah orang katakan, jika sakit hati oleh cinta maka penawarnya adalah cinta lagi.
Tapi aku ya aku, seumur-umur aku tak pernah diapeli oleh lelaki manapun. Secara personal tidak pernah sekalipun. Kalau teman lelakiku datang berama-ramai itu jelas sangat sering, merayakan kelulusan atau sekedar makan-makan biasa. Itu juga bersama teman-teman perempuan.

Aku hanya bisa diam, kaku dan beku. Disampingku ada ayah, sedang dia bersama teman paman yang kenal dekat dengan keluargaku. Memang dia tidak bisa dikatakan tidak, parasnya menawan. Tingginya sekitar 170-an lebih, dengan hidung mancung dan kulit putih. Teman paman itu yang menjadi jubirnya, menawarkan ini-itu.

Tapi yang jelas, melulu soal harta yang diceritakan.

Aku menunduk diam khusyu mendengarkan cerita teman paman tentangnya. Katanya, dia seorang wiraswasta di Jakarta. Punya kios dan tak pernah lupa menyisihkan uangnya untuk orang tua di desa. Kabarnya, ia juga punya banyak tanah di desa. Berpuluh-puluh juta disebutkan. Pertemuan itu berlalu begitu saja, tersisa perkenalan nama dan cerita tentang harta.

Unik.

Pekan kedua aku tak menyangka. Aku hanya berharap jika dia enggan kembali setelah pertemuan pertama itu. Tapi ternyata tidak, dia kembali bersama temannya yang lain. Hmm.

Pertemuan kali ini dia berani berbicara lepas, tidak terlihat kaku sama sekali. Justru membuatku semakin tak yakin dengan keseriusan ucapannya tempo hari.
Segera kuakhiri saja sebelum semuanya menambah ganjalan di hati kian kaya. 

Tersampaikanlah bahwa aku belum siap dengan ini dan itu. Meski dia berjanji akan menunggu hingga lulus pun aku tetap belum siap. Sederhana, aku khawatir pertemuan itu terus terjadi setiap pekannya. Seperti rutinitas apel setiap senin. Apalagi jika janji suci itu ditunda dua tahun lagi.

Beberapa tahun kemudian aku mendengar kabar dia akan menikah. So? Kenapa harus menyesal?

Lagi-lagi, saat ayah berjamaah shubuh di masjid. Terjadilah pembicaraan dengan teman paman itu. “Wah pak, dia mah belum nikah aja udah ngasih uang sekian juta sama mertuanya. Dibeliin ini-itu,” kata teman paman dengan semangat menggebu seolah menyiratkan nyesel kan nggak besanan? begitu.

Yup, dalam setiap dinamika kehidupan selalu ada pergerakan, pilihan dan keputusan beserta segala resikonya. Dan semua ini tidak lepas dari segala pertimbangan, dengan pedoman utama agama tentunya. Agama tidak bisa dibagikan seperti harta dan seorang imam utamanya dipilih berdasarkan agamanya.

Sedihnya keluarga si aku sedang berada dalam keadaan ekonomi yang tidak stabil. Orang tuanya berhenti bekerja karena umur yang menghentikan. Hingga akhirnya tokoh aku yang berikhtiar mencari rizqi. Rasa menyesal itu sempat menyelinap dalam hati, tapi apakah selalu harta akan membahagiakan? Percayalah bahwa Allah Swt. telah menuliskan setiap diri dengan rizqinya masing-masing. Lalu kenapa harus takut dan menyesali?

Yuk doakan tokoh aku supaya Alloh kuatkan dan dimudahkan dalam mencari rizqi yang telah dituliskan. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar