HARI ini adalah hari pernikahannya. Entah apa yang kurasakan,
sedih, gembira ataukah malah plain? Tapi yang pasti seharian ini aku
hanya terdiam, memandang nanar setiap pojok kamar. Bingung.
Begini ya rasanya ditinggal menikah? Padahal dulu aku sama
sekali tidak merasakan sesuatu yang istimewa dalam hati. Biasa saja malah
cenderung apatis. Tepat dua tahun yang lalu, saat ada seseorang yang tiba-tiba
datang mengejutkanku. Ia datang melamarku? Apa melamar? Melamar anak ingusan?
Ya, aku baru saja duduk di semester empat perkuliahan.
Tapi aku ya aku, seumur-umur aku tak pernah di’apeli’ oleh lelaki manapun. Secara personal
tidak pernah sekalipun. Kalau teman lelakiku datang berama-ramai itu jelas
sangat sering, merayakan kelulusan atau sekedar makan-makan biasa. Itu juga
bersama teman-teman perempuan.
Aku hanya bisa diam,
kaku dan beku. Disampingku ada ayah, sedang dia bersama teman paman yang kenal
dekat dengan keluargaku. Memang dia tidak bisa dikatakan tidak, parasnya
menawan. Tingginya sekitar 170-an lebih, dengan hidung mancung dan kulit putih.
Teman paman itu yang menjadi jubirnya, menawarkan ini-itu.
Tapi yang jelas,
melulu soal harta yang diceritakan.
Aku menunduk diam
khusyu’ mendengarkan cerita teman paman
tentangnya. Katanya, dia seorang wiraswasta di Jakarta. Punya kios dan tak
pernah lupa menyisihkan uangnya untuk orang tua di desa. Kabarnya, ia juga
punya banyak tanah di desa. Berpuluh-puluh juta disebutkan. Pertemuan itu
berlalu begitu saja, tersisa perkenalan nama dan cerita tentang harta.
Unik.
Pekan kedua aku tak
menyangka. Aku hanya berharap jika dia enggan kembali setelah pertemuan pertama
itu. Tapi ternyata tidak, dia kembali bersama temannya yang lain. Hmm.
Pertemuan kali ini
dia berani berbicara lepas, tidak terlihat kaku sama sekali. Justru membuatku
semakin tak yakin dengan keseriusan ucapannya tempo hari.
Segera kuakhiri saja
sebelum semuanya menambah ganjalan di hati kian kaya.
Tersampaikanlah bahwa aku
belum siap dengan ini dan itu. Meski dia berjanji akan menunggu hingga lulus
pun aku tetap belum siap. Sederhana, aku khawatir pertemuan itu terus terjadi setiap
pekannya. Seperti rutinitas apel setiap senin. Apalagi jika janji suci itu
ditunda dua tahun lagi.
Beberapa tahun
kemudian aku mendengar kabar dia akan menikah. So? Kenapa harus menyesal?
Lagi-lagi, saat ayah
berjamaah shubuh di masjid. Terjadilah pembicaraan dengan teman paman itu. “Wah
pak, dia mah belum nikah aja udah ngasih uang sekian juta sama mertuanya. Dibeliin
ini-itu,” kata teman paman dengan semangat menggebu seolah menyiratkan ‘nyesel kan nggak besanan?’ begitu.
Yup, dalam setiap
dinamika kehidupan selalu ada pergerakan, pilihan dan keputusan beserta segala
resikonya. Dan semua ini tidak lepas dari segala pertimbangan, dengan pedoman
utama agama tentunya. Agama tidak bisa dibagikan seperti harta dan seorang imam
utamanya dipilih berdasarkan agamanya.
Sedihnya keluarga si
‘aku’ sedang berada dalam keadaan ekonomi
yang tidak stabil. Orang tuanya berhenti bekerja karena umur yang menghentikan.
Hingga akhirnya tokoh aku yang berikhtiar mencari rizqi. Rasa menyesal itu sempat menyelinap dalam hati, tapi apakah selalu harta akan
membahagiakan? Percayalah bahwa Allah Swt. telah menuliskan setiap diri dengan
rizqinya masing-masing. Lalu kenapa harus takut dan menyesali?
Yuk do’akan tokoh aku supaya Alloh kuatkan dan
dimudahkan dalam mencari rizqi yang telah dituliskan. Aamiin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar