TULISAN itu menempel di dinding kamar. Paling besar diantara tulisan yang lain, judulnya "Grand Visions" atau kalau di bahasa Indonesia artinya visi-visi besar nyang punya kamar. Entah yang punya kamar kemana jadinya keyboard notebook keluaran jadul ini menuliskan apa saja semaunya. Hehe.
Oh, ternyata Vida sang pemilik kamar tengah asyik menggambar sebuah peta pemikiran dengan warna-warni yang asyik supaya lebih mudah diingat. Aha! Mungkin kosa kata baru bahasa Arab, hari ini kan dia ada kelas bersama kakak sepupunya. Bisa jadi.
"Selesai! Alhamdulillah," ucap Vida sambil menyusut peluh yang membanjiri wajahnya. Dirapihkan kertas-kertas yang berisi kosa kata bahasa Arab itu lalu beranjak menemui notebook. Eh, sepertinya harus segera berhenti bercerita karena sang pemilik telah datang. Bye.
Baru saja aku memijit keyboard memilih kata kunci yang tepat untuk segera browsing seperti biasanya. Ya, aku suka mencari berita tentangnya, mencintainya, memilikinya, merindukannya jadi bagian hidupku setiap hari. Rasanya aku tak sabra ingin segera menjumpainya. Tapi sampai saat ini hanya dapat berkata, mungkin besok atau besok atau besoknya lagi. Dan seperti hari ini, panggilan seseorang yang dengan keikhlasannya mengorbankan jiwanya.
"Da, hayu kesini dulu bantuin ibu. Aduh, kebangetan ini si Pri masa lagi-lagi gordin pintu depan digelantungin," ajak ibu sambil masih saja mengomel. Oh iya, Pri itu salah satu keponakanku yang memang masa-masanya menggemaskan dan banyak tingkahnya. Aku segera mendekati ibu karena jika tidak serangan lain siap menerkam, hehe.
"Iya bu, nanti Da benerin insya Allah. Dirapihkan nanti nyari kain bekas dulu buat tali diatasnya. Indah itu tidak harus mahal kan bu? Bisa diakali," kataku sambil menyunggingkan senyuman paling manis. "Da, kalau pengen yang bagus adanya di toko pake label harga yang mahal. Adeuh cling-cling gitu, gak tahu deh kapan kita kebeli kayak gituan," timpal ibu.
Aku hanya bisa menyerah pasrah, bahaya kalau aku menimpali lagi pembicaraan model ini. Bisa berkepanjangan mirip musim kemarau panjang. dan bisa buat aliran sungai di pipi tembemku. Diam dan bergerak saja sambil mendengarkan walau hati setengah menyetujui semua ucapan ibu.
Apalagi kejadian saat itu, gara-gara tulisan besar di kamar itu tuh ibu ngedumel panjang lebar. Positif tapi bikin nyali tambah ciut. Intinya kita khususnya aku tidak mungkin bisa menempuh beberapa poin di tulisan itu, salah satunya pergi ke Gaza. Siapa tak ingin kesana setelah berhaji ke Baitullah?
Tempat suci luar biasa dengan kekayaan alam yang tak kalah suburnya dengan negeri Indonesia. Makanya kaum Yahudi yang terlena dengan harta dunia bilang kalau Yerusalem adalah tanah yang dijanjikan dan disebutkan di dalam kitab mereka. Padahal jelas-jelas itu adalah motif duniawi, karena 'katanya' kaum Yahudi jaman dulu pernah menggali dan mencari harta karun peninggalan Nabi Sulaiman yang menurut sejarah tertanam di tanah Palestina.
Ada semangat menggebu tiap kali membicarakan dan mendengarkan cerita tentang tanah milik umat Islam ini. Betapa hanya melihat dari kejauhan saja semangat warga Palestina untuk membebaskan diri sepenuhnya dari cengkraman Zionis terasa ke dalam hati dan jiwa. Tapi ibu selalu bilang, "Kamu cuma buruh pabrik biasa. Dan ibu bukan istri pejabat yang kerjaannya arisan, ibu cuma ibu rumah tangga tok."
Idealisme itu meledak-ledak tiap kali ibu bilang dan lagi-lagi diakhiri dengan ngedumel panjang kali lebar. Aku yang hidup dengan sebuah kepercayaan juga butuh kepercayaan dari orang lain. Terutama orang yang terdekat bahkan darahnya mengalir dalam tubuhku. Tapi apakah harus terhenti?
TIDAK! Aku masih yakin hidup seseorang itu bergantung prasangkanya kepada Rabb-Nya, jika belum saja berproses dan sudah berprasangka buruk dengan Sang Khaliq. It's over. Tapi jika terus berusaha optimal lalu dibarengi dengan husnudzon maka hasilnya akan terbaik menurut-Nya dan akan sesuai dengan apa yang dibutuhkan kini.
Dan harus kuingat, hidup dan motivasi hidup itu tak selalu berasal dari Cinta tapi juga dari rasa sakit. Kudapatkan cinta dari Maha Cinta dan rasa sakit dari hamba-Nya. Aku memahami bahwa kata-kata yang membuat nyaliku ciut adalah sebuah kekhawatiran tapi tetap saja menjadi beban di hati. Apalagi orang yang terdekat yang mengatakannya.
Dan kalian tahu? Vida tetap berusaha menyisihkan uangnya untuk tabungan pemberangkatan ke negeri para Nabi itu. Vida tetap mempelajari bahasa Arab dan semakin giat mendalami bahasa Inggris dibantu kakak sepupunya. Dan diam-diam ia mulai menghafal ayat-ayat Cinta-Nya. Vida masih tetap berhadapan denganku, mencari berbagai berita tentang negeri itu. Dan yang Vida tahu, ibunya hanya perlu sebuah bukti bukan sekedar mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar